Rabu, 23 Maret 2016

ANALISIS PUISI “YANG FANA ADALAH WAKTU” KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO MENGGUNAKAN PENDEKATAN STILISTIKA


BAB I
PENDAHULUAN

Analisis terhadap suatu karya sastra bertujuan untuk mengetahui makna apa yang disampaikan oleh si pengarang kepada pembacanya. Sebuah karya sastra lazimnya mengandung makna-makna yang belum dimengerti pembaca. Namun, dengan adanya penganalisisan akan membuat pembaca memahami maksud kepenulisannya.
Pada makalah ini penulis akan menganalisis sebuah karya sastra dengan pendekatan stilistika. Terlebih dahulu stilistika itu sendiri adalah sebuah style atau gaya dalam kepenulisan karya, yang dimaksudkan untuk menjadikan sebuah karya tersebut memiliki gaya dan keindahan.
Oleh sebab itu, penulis menganalisis salah satu puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul “yang fana adalah waktu”. Penulis tertarik menganalisis puisi ini karena pengarang menyamakan sebuah keabadian antara manusia dengan waktu. Disisi lain Sapardi menyebut bahwa waktulah yang benar-benar abadi.

BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Stilistika
Stilistika adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa didalam karya sastra (Abram dalam Al-Ma’ruf, 2009: 10). Stilistika adalah proses menganalisis karya sastra dengan mengkaji unsur-unsur bahasa sebagai medium karya sastra yang dugunakan sastrawan sehingga terlihat bagaimana perlakuan sastrawan terhadap bahasa dalam rangka menuangkan gagasannya. Ratna (dalam Al-Ma’ruf, 2009: 10) menyatakan, stilistika merupakan ilmu yang menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya sastra, dengan mempertimbangkan aspek-aspek keindahannya.(http://sastra33.blogspot.co.id/2011/06/kajian-stilistika-lirik-lagu-lagu-untuk.htmldiakses pada kamis, 24 maret 2016 pukul 04:04 WIB) 
Sedangkan menurut Keraf (2005) Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retrorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah, maka style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah.
Jadi, stilistika merupakan sebuah style atau gaya yang digunakan pengarang sebuah sastra dalam mencipta karya sehingga sebuah karya selain memiliki makna juga memiliki keindahan tersendiri.
2.      Analisis puisi "Yang fana adalah waktu" karya Sapardi Djoko Damono.
"Yang fana adalah waktu"
Karya Sapardi Djoko Damono
Yang fana adalah waktu
Kita abadi
Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
Sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu.
Kita abadi.
Pada puisi pengarang menyatakan bahwa ada seseorang yang menyebut bahwa waktu itu fana, sedangkan manusia itu abadi. Hal ini sangat bertentangan dengan kenyataan yang sesungguhnya.
Sebelum itu, kita harus memahami terlebih dahulu makna fana dan abadi. Fana merupakan segala sesuatu itu dapat hilang dan idak dapat bertahan lama atau juga dimaksudkan bahwa tidak kekal. Sedangkan, abadi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah kekal dan tidak berkesudahan.
Karena secara logika yang namanya makhluk tak ada yang abadi dan yang abadi adalah waktu. Sapardi membawa kita untuk menyadari bahwa sekarang ini manusia hanya menganggap dirinya masing-masinglah yang abadi.
Pada puisi ini juga terdapat gaya bahasa berupa kiasan. Dikutip dari sebuah blog, dikatakan bahwa bahasa kias (majas) atau figurative language merupakan bahasa yang susunan dan arti katanya sengaja disimpangkan dari susunan dan arti semula. Itu bisa dilakukan dengan cara   memanfaatkan pertautan, perbandingan atau pertentangan hal satu dengan hal lain, yang maknanya sudah dikenal oleh pembaca. (http://erry-indra.blogspot.co.id/2013/03/mengupas-bahasa-kias.html diunduh pada Kamis, 24 Maret 2016 pukul 04:37 WIB)
Menurut Keraf (2005 :136) menyatakan bahwa gaya bahasa kiasan ini pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain, berarti mencoba menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut. Perbandingan sebenarnya mengandung dua pengertian, yaitu perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa yang polos atau langsung, dan perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa kiasan. Perbedaan antara kedua perbandinan ini adalah dalam hal kelasnya. Perbandingan biasa mencakup dua anggota yang termasuk dalam kelas yang sama, sedangkan perbandingan kedua, sebagai bahasa kiasan , mencakup dua hal yang termasuk dalam kelas yang berlainan.
1.      Metafora
Gaya bahasa kiasan yang digunakan adalah gaya bahasa metafora yang membandingkan sesuatu secara lansung. Sapardi berusaha membandingkan antara manusia dengan waktu yang sebenarnya kedua hal tersebut tidak sama.
Yang fana adalah waktu
Kita abadi
Pada baris puisi tersebut tampak bahwa “waktu” merupakan yang fana dibandingkan dengan “kita” yang abadi. Padahal keduannya sangat bertentangan dengan seharusnya. Sapardi bermaksud bahwa manusia saat ini lupa akan hakikat dirinya. Menganggap dirinya abadi dan lupa kodratnya sebagai makhluk. Bahkan lupa bahwa waktulah sebenarnya yang abadi.
2.      Smile
Bahasa kias yang membandingkan dua hal atau lebih yang hakikatnya berbeda, tetapi dianggap mengandung segi yang serupa. Keserupaan itu dinyatakan secara tersurat dengan kata : bagai, sebagai, bak, semisal, seperti, ibarat, seumpama, laksana dan sebagainya. (http://erry-indra.blogspot.co.id/2013/03/mengupas-bahasa-kias.html diunduh pada Kamis, 24 Maret 2016 pukul 04:56 WIB)
Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
Pada baris ini ada sebuah gaya bahasa berupa simile. Kata “seperti” digunakan untuk membandingkan antara “detik” yang serupa dengan “bunga” yang sebenarnya keduannya tidak memiliki hubungan.
Sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu.
Kita abadi.
Bait berikutnya juga menegaskan lagi bahwa manusia saat ini benar-benar lupa akan kodratnya.  Jika dikaitkan dengan agama mereka hanya berlomba-lomba mencari kesenangan atau kenikmatan dunia tanpa memikirkan untuk apa semua hal itu ia lakukan. Mereka berfikir hidup itu masih lama dan perjalanan itu masih panjang. Mereka tidak memikirkan akhir dari kisah mereka masing-masing.
Sekali lagi dalam puisi ini pada bait terakhirnya, ditegaskan bahwa merekalah yang benar-benar abadi, sedangkan waktu hanyalah sesuatu yang fana.
Itulah beberapa ulasan puisi “Yang Fana adalah Waktu” dengan tinjauan stilistika. Kita disadarkan oleh makna-makna tersirat di dalamnya. Bahwasanya tak ada yang abadi di dunia ini kecuali waktu. Karena kita sebagai makhluk tuhan akan kembali ke asalnya.
BAB III
PENUTUP

1.      Kesimpulan
Puisi “Yang Fana adalah Waktu” menyadarkan kita oleh makna-makna tersirat di dalamnya. Bahwasanya tak ada yang abadi di dunia ini kecuali waktu. Karena kita sebagai makhluk tuhan akan kembali ke asalnya.
Berdasarkan pendekatan stilistika didapat bahwa puisi tersebut mengandung gaya bahasa kiasan yang diantaranya simile dan metafora. Yang keduanya berusaha membandingan sesuatu hal secara lansung baik itu sama atau tidak.

2.      Daftar Pustaka
(http://erry-indra.blogspot.co.id/2013/03/mengupas-bahasa-kias.html diunduh pada Kamis, 24 Maret 2016 pukul 04:56 WIB)
Keraf, Gorys.2005.Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.





http://gambargambar.com/wp-content/uploads/2015/01/animasi-lucu-dua-kucing-satu.gif

4 komentar:

  1. Saya menikmati ulasan anda yang mengulas dari kata per kata sajak lama Sapardi ini. Kalimat pertama sajak itu, begitu kuat seperti pernyataan meski rasanya juga penyataan tersebut saya bayangkan dalam bisikan.
    Sajak2 Sapardi saya kagumi karena kekuatan majas dan diksi yang sederhana sekali. Saya menyukai ide keabadiann. Interpretasi bebas saya, dalam bahasa yang porak-poranda, saja tersebut begitu subtil dan mesra. Hasrat abadi, hasrat melampaui waktu (yang juga tak abadi), begitu dalam. Pertanyaan akhir pada sajak adalah upaya meyakinkan dal keraguan. Seolah dalam keraguan itu, kita sedang berjalan menuju keabadian, melampaui maut, melampaui keterbatasan. Hasrat itulah yang saya kira terasa indah, justru ketika dinyatakan dalam bisik keraguan, hasrat itu membuat kefanaan seolah terlampaui. Jika ada yang setara tentang itu, saya rasa adalah sajak Geonawan Mohamad tentang keramik yang kelak retak, dan kitalah yang membikinnya abadi.
    Seperti kenangan, yang melampaui waktu, hingga kehadiran semua yang fana masih selalu terasa, seperti ketika orang-orang yang kita sayangi telah tak ada, tapi kehadirannya masih begitu mesra, dan nyata kita rasakan dalam keharuan.
    Sajak Sapardi ini terlalu istimewa untuk dibedah dengan kamus besar saja, tiap kata menyampaikan dunia Sapardi, tafsirnya bisa menghadirkan subtilitas. Dalam kejumudan logos, kadang kita merasa manejadi menusia dan seolah abadi justru ketika membebaskan diri dari batasan waktu. Maka yang fana dalah waktu, bukan? Kita abadi

    BalasHapus
  2. Kita abadi. Begitu pula dengan ruang dan waktu. Tiga dimensi keabadian tersebut tidak bisa dipisahkan tanpa terkecuali.

    BalasHapus
  3. Kalau menurut saya pribadi (mungkin salah), maknanya bisa jadi begini " yang fana adalah waktu mengartikan bahwa kehidupan manusia yang bisa dihitung umurnya" sedangkan kita abadi artinya, setelah kita mati kita masih akan hidup dalam (banyak hal) misalnya hati orang, atau kalau kita yang beragama percaya bahwa setelah kematian ada kehidupan baru. Bisa neraka bisa juga surga.

    BalasHapus