BAB I
PENDAHULUAN
Analisis
terhadap suatu karya sastra bertujuan untuk mengetahui makna apa yang
disampaikan oleh si pengarang kepada pembacanya. Sebuah karya sastra lazimnya
mengandung makna-makna yang belum dimengerti pembaca. Namun, dengan adanya
penganalisisan akan membuat pembaca memahami maksud kepenulisannya.
Pada
makalah ini penulis akan menganalisis sebuah karya sastra dengan pendekatan
stilistika. Terlebih dahulu stilistika itu sendiri adalah sebuah style atau
gaya dalam kepenulisan karya, yang dimaksudkan untuk menjadikan sebuah karya
tersebut memiliki gaya dan keindahan.
Oleh
sebab itu, penulis menganalisis salah satu puisi Sapardi Djoko Damono yang
berjudul “yang fana adalah waktu”. Penulis tertarik menganalisis puisi ini
karena pengarang menyamakan sebuah keabadian antara manusia dengan waktu.
Disisi lain Sapardi menyebut bahwa waktulah yang benar-benar abadi.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Stilistika
Stilistika
adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa didalam karya
sastra (Abram dalam Al-Ma’ruf, 2009: 10). Stilistika adalah proses menganalisis
karya sastra dengan mengkaji unsur-unsur bahasa sebagai medium karya sastra
yang dugunakan sastrawan sehingga terlihat bagaimana perlakuan sastrawan
terhadap bahasa dalam rangka menuangkan gagasannya. Ratna (dalam Al-Ma’ruf,
2009: 10) menyatakan, stilistika merupakan ilmu yang menyelidiki pemakaian
bahasa dalam karya sastra, dengan mempertimbangkan aspek-aspek keindahannya.(http://sastra33.blogspot.co.id/2011/06/kajian-stilistika-lirik-lagu-lagu-untuk.htmldiakses pada kamis, 24 maret 2016 pukul
04:04 WIB)
Sedangkan menurut Keraf
(2005) Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retrorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin.
Keahlian menggunakan alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada
lempengan tadi. Kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian untuk
menulis indah, maka style lalu
berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan
kata-kata secara indah.
Jadi,
stilistika merupakan sebuah style atau gaya yang digunakan pengarang sebuah
sastra dalam mencipta karya sehingga sebuah karya selain memiliki makna juga
memiliki keindahan tersendiri.
2.
Analisis puisi "Yang fana adalah waktu" karya
Sapardi Djoko Damono.
"Yang
fana adalah waktu"
Karya
Sapardi Djoko Damono
Yang fana adalah waktu
Kita abadi
Memungut detik demi detik, merangkainya seperti
bunga
Sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu.
Kita abadi.
Pada
puisi pengarang menyatakan bahwa ada seseorang yang menyebut bahwa waktu itu
fana, sedangkan manusia itu abadi. Hal ini sangat bertentangan dengan kenyataan
yang sesungguhnya.
Sebelum
itu, kita harus memahami terlebih dahulu makna fana dan abadi. Fana merupakan
segala sesuatu itu dapat hilang dan idak dapat bertahan lama atau juga
dimaksudkan bahwa tidak kekal. Sedangkan, abadi menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia ialah kekal dan tidak berkesudahan.
Karena
secara logika yang namanya makhluk tak ada yang abadi dan yang abadi adalah
waktu. Sapardi membawa kita untuk menyadari bahwa sekarang ini manusia hanya
menganggap dirinya masing-masinglah yang abadi.
Pada
puisi ini juga terdapat gaya bahasa berupa kiasan. Dikutip dari sebuah blog,
dikatakan bahwa bahasa kias (majas) atau figurative language merupakan
bahasa yang susunan dan arti katanya sengaja disimpangkan dari susunan dan arti
semula. Itu bisa dilakukan dengan cara memanfaatkan pertautan,
perbandingan atau pertentangan hal satu dengan hal lain, yang maknanya sudah
dikenal oleh pembaca. (http://erry-indra.blogspot.co.id/2013/03/mengupas-bahasa-kias.html diunduh pada
Kamis, 24 Maret 2016 pukul 04:37 WIB)
Menurut
Keraf (2005 :136) menyatakan bahwa gaya bahasa kiasan ini pertama-tama dibentuk
berdasarkan perbandingan atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu
hal yang lain, berarti mencoba menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan
antara kedua hal tersebut. Perbandingan sebenarnya mengandung dua pengertian,
yaitu perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa yang polos atau langsung,
dan perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa kiasan. Perbedaan antara kedua
perbandinan ini adalah dalam hal kelasnya. Perbandingan biasa mencakup dua
anggota yang termasuk dalam kelas yang sama, sedangkan perbandingan kedua,
sebagai bahasa kiasan , mencakup dua hal yang termasuk dalam kelas yang
berlainan.
1. Metafora
Gaya
bahasa kiasan yang digunakan adalah gaya bahasa metafora yang membandingkan
sesuatu secara lansung. Sapardi berusaha membandingkan antara manusia dengan
waktu yang sebenarnya kedua hal tersebut tidak sama.
Yang fana
adalah waktu
Kita abadi
Pada baris puisi tersebut tampak
bahwa “waktu” merupakan yang fana dibandingkan dengan “kita” yang abadi.
Padahal keduannya sangat bertentangan dengan seharusnya. Sapardi bermaksud
bahwa manusia saat ini lupa akan hakikat dirinya. Menganggap dirinya abadi dan
lupa kodratnya sebagai makhluk. Bahkan lupa bahwa waktulah sebenarnya yang
abadi.
2. Smile
Bahasa kias yang membandingkan dua hal atau lebih yang hakikatnya berbeda,
tetapi dianggap mengandung segi yang serupa. Keserupaan itu dinyatakan secara
tersurat dengan kata : bagai, sebagai, bak, semisal, seperti, ibarat, seumpama,
laksana dan sebagainya. (http://erry-indra.blogspot.co.id/2013/03/mengupas-bahasa-kias.html diunduh pada Kamis, 24 Maret 2016 pukul
04:56 WIB)
Memungut
detik demi detik, merangkainya seperti bunga
Pada baris
ini ada sebuah gaya bahasa berupa simile. Kata “seperti” digunakan untuk
membandingkan antara “detik” yang serupa dengan “bunga” yang sebenarnya
keduannya tidak memiliki hubungan.
Sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu.
Kita abadi.
Bait
berikutnya juga menegaskan lagi bahwa manusia saat ini benar-benar lupa akan
kodratnya. Jika dikaitkan dengan agama
mereka hanya berlomba-lomba mencari kesenangan atau kenikmatan dunia tanpa
memikirkan untuk apa semua hal itu ia lakukan. Mereka berfikir hidup itu masih
lama dan perjalanan itu masih panjang. Mereka tidak memikirkan akhir dari kisah
mereka masing-masing.
Sekali lagi
dalam puisi ini pada bait terakhirnya, ditegaskan bahwa merekalah yang
benar-benar abadi, sedangkan waktu hanyalah sesuatu yang fana.
Itulah
beberapa ulasan puisi “Yang Fana adalah Waktu” dengan tinjauan stilistika. Kita
disadarkan oleh makna-makna tersirat di dalamnya. Bahwasanya tak ada yang abadi
di dunia ini kecuali waktu. Karena kita sebagai makhluk tuhan akan kembali ke
asalnya.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Puisi
“Yang Fana adalah Waktu” menyadarkan kita oleh
makna-makna tersirat di dalamnya. Bahwasanya tak ada yang abadi di dunia ini
kecuali waktu. Karena kita sebagai makhluk tuhan akan kembali ke asalnya.
Berdasarkan
pendekatan stilistika didapat bahwa puisi tersebut mengandung gaya bahasa
kiasan yang diantaranya simile dan metafora. Yang keduanya berusaha
membandingan sesuatu hal secara lansung baik itu sama atau tidak.
2.
Daftar Pustaka
(http://erry-indra.blogspot.co.id/2013/03/mengupas-bahasa-kias.html diunduh pada Kamis, 24 Maret 2016 pukul
04:56 WIB)
(http://sastra33.blogspot.co.id/2011/06/kajian-stilistika-lirik-lagu-lagu-untuk.htmldiakses pada kamis, 24 maret 2016 pukul
04:04 WIB)
Keraf,
Gorys.2005.Diksi dan Gaya Bahasa.
Jakarta: Gramedia.
Saya menikmati ulasan anda yang mengulas dari kata per kata sajak lama Sapardi ini. Kalimat pertama sajak itu, begitu kuat seperti pernyataan meski rasanya juga penyataan tersebut saya bayangkan dalam bisikan.
BalasHapusSajak2 Sapardi saya kagumi karena kekuatan majas dan diksi yang sederhana sekali. Saya menyukai ide keabadiann. Interpretasi bebas saya, dalam bahasa yang porak-poranda, saja tersebut begitu subtil dan mesra. Hasrat abadi, hasrat melampaui waktu (yang juga tak abadi), begitu dalam. Pertanyaan akhir pada sajak adalah upaya meyakinkan dal keraguan. Seolah dalam keraguan itu, kita sedang berjalan menuju keabadian, melampaui maut, melampaui keterbatasan. Hasrat itulah yang saya kira terasa indah, justru ketika dinyatakan dalam bisik keraguan, hasrat itu membuat kefanaan seolah terlampaui. Jika ada yang setara tentang itu, saya rasa adalah sajak Geonawan Mohamad tentang keramik yang kelak retak, dan kitalah yang membikinnya abadi.
Seperti kenangan, yang melampaui waktu, hingga kehadiran semua yang fana masih selalu terasa, seperti ketika orang-orang yang kita sayangi telah tak ada, tapi kehadirannya masih begitu mesra, dan nyata kita rasakan dalam keharuan.
Sajak Sapardi ini terlalu istimewa untuk dibedah dengan kamus besar saja, tiap kata menyampaikan dunia Sapardi, tafsirnya bisa menghadirkan subtilitas. Dalam kejumudan logos, kadang kita merasa manejadi menusia dan seolah abadi justru ketika membebaskan diri dari batasan waktu. Maka yang fana dalah waktu, bukan? Kita abadi
Kita abadi. Begitu pula dengan ruang dan waktu. Tiga dimensi keabadian tersebut tidak bisa dipisahkan tanpa terkecuali.
BalasHapusKalau menurut saya pribadi (mungkin salah), maknanya bisa jadi begini " yang fana adalah waktu mengartikan bahwa kehidupan manusia yang bisa dihitung umurnya" sedangkan kita abadi artinya, setelah kita mati kita masih akan hidup dalam (banyak hal) misalnya hati orang, atau kalau kita yang beragama percaya bahwa setelah kematian ada kehidupan baru. Bisa neraka bisa juga surga.
BalasHapusIya aku ngiranya begitu
Hapus